BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Jepang merupakan salah satu negara di Asia dengan kemajuan teknologi dan Ekonomi yang luar biasa.Meskipun telah mengalami kekalahan di Perang Dunia II tahun 1945 karena dibomnya kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat, Jepang bisa bangkit dan berkembang menjadi negara yang maju bahkan menyaingi Amerika dalam bidang ekonomi.Dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki, Jepang mampu bangkit dan bahkan menyaingi perekonomian negara-negara adikuasa di dunia. Terbukti, pendapatan per kapita dan taraf hidup rakyat Jepang menempati posisi kedua tertinggi di dunia setelah Amerika Serikat. Jepang selama ini dikenal sebagai negara yang inovatif dan kreatif serta memiliki semangat berkarya yang tinggi sehingga walaupun bangsa mereka bukan bangsa penemu mereka mampu menciptakan berbagai penemuan-penemuan terpenting dalam sejarah dunia.
Kemajuan Negara Jepang tentu saja tidak lepas dari peran masyarakat didalamnya. Walupun masyarakat Jepang bertubuh kecil layaknya orang asia lainnya, tidak mempunyai sumber daya alam yang cukup dan juga kondisi negara yang sering diterpa gempa bumi dan tsunami, namun sumber daya manusia di Jepang dinilai sangat baik dibandingkan dengan negara lain. Orang Jepang berupaya menggunakan segala potensi yang ada untuk membangun negaranya agar sebanding dengan negara-negara maju di dunia.
Jepang memiliki kultur dan watak penduduk pekerja keras, pantang menyerah, berani dan sangat berdisiplin. Semangat kerja keras ini telah diwariskan secara turun- menurun dari kaum samurai yang memegang teguh prinsip Bushido.Pada Jaman dahulu, Para samurai akan melakukan harakiri (bunuh diri) dengan menusukkan pedang ke perut jika kalah bertarung.Hal ini memperlihatkan usaha mereka untuk menebus harga diri yang hilang akibat kalah perang. Prinsip bushido ini awalnya diterapkan dikalangan samurai saja, namun perputaran waktu yang membawa Jepang menjadi bangsa yang maju adalah bukti bahwa bushido dapat diterapkan dalam segala aspek, termasuk para wirausaha, birokrat dan kaum cendekiawan serta seluruh lapisan masyarakat. Bahkan pada zaman perang dunia dan pasifik,tentara Jepang tidak akan pulang sebelum mereka menang dalam pertempuran dan lebih memilih untuk bunuh diri ketika kalah perang. Prinsip Bushido juga merasuki pasukan bunuh diri Kamikaze untuk berjuang melindungi negaranya. Hal ini menunjukan Jepang sangat bersungguh-sungguh dalam melakukan kewajibannya. Terutama pada bidang yang digeluti.
Gila kerja di Jepang bukanlah hal yang terdengar aneh. Bahkan angka kelahiran di Jepang menurun karena sebagian besar orang Jepang enggan untuk menikah atau menikah di usia tua karena lebih memilih untuk fokus bekerja. Bagi bangsa Jepang, bekerja sampai malam sudah menjadi kebiasaan. orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa mengharap bayaran.Mereka merasa lebih dihargai jika diberi tugas pekerjaan yang berat dan menantang. Sebaliknya, mereka akan mendapat tanggapan negatif dari masyarakat sekitar jika pulang kerumah lebih awal. Sikap "gila kerja" orang Jepang ini diwarisi turun temurun oleh Samurai. Melalui sistem ini, para pekerja di Jepang ditanamkan rasa taat kepada pimpinan atau kepada perusahaan tempat dimana mereka bekerja. Mereka tidak merasa dibebani banyak pekerjaan, justru menganggapnya sebagai sebuah tanggung jawab yang perlu dilaksanakan dengan sebaik mungkin. Sistem seperti itulah yang membuat orang Jepang rela berkorban dan berusaha memberikan yang terbaik untuk pekerjaannya sampai-sampai tidak mempedulikan diri sendiri. Mereka bekerja selama 80 hari berturut-turut dan lebih dari 100 jam selama berbulan-bulan pada suatu waktu tanpa mempedulikan kesehatan mereka.Bahkan survei pada tahun 2004 oleh International Labour Organization menemukan bahwa lebih dari enam juta orang Jepang bekerja rata-rata lebih dari 60 jam per minggu. Bahkan pada 1960, rata-rata jam kerja pekerja Jepang adalah 2.450 jam/ tahun dan menurun menjadi 2.017 jam/tahun pada tahun 1992. Jam kerja itu masih tergolong paling tinggi dibandingkan rata-rata jam kerja di negara maju lainnya seperti Amerika Serikat (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911 jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun). Seorang pekerja di Jepang rata-rata dapat melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan enam sampai tujuh orang di negara lain. Misalnya pada tahun 1975 seorang pekerja Jepang mampu menghasilkan sebuah mobil seharga 1.000 poundsterling dalam waktu Sembilan hari sedangkan di perusahaan Leyland Motors, Inggris, membutuhkan 47 hari untuk menghasilkan mobil dengan harga yang sama dan dikerjakan oleh banyak pekerja.
Budaya Workholic seperti ini selain membawa dampak positif bagi kemajuan negara Jepang, juga membawa resiko besar terutama bagi pekerja-pekerja di Jepang dalam hal kesehatan. Karena kurangnya jam istirahat dan akibat dari kelelahan, membuat kesehatan para pekerja Jepang menjadi buruk. Bahkan sering terjadi kematian mendadak dari para pekerja di Jepang akibat stroke atau gagal Jantung. Fenomena ini disebut Karoshi yaitu kematian akibat terlalu banyak bekerja. Selain Karoshii , ada Juga fenomena bunuh diri karena terlalu lelah bekerja,depresi dan tekanan pekerjaan atau biasa di sebut karo Jisatsu.
Karoshi dan karo jisatsu menjadi fenomena yang semakin dikenal di Jepang, Karoshi dan Karo Jisatsu sering terjadi di kalangan orang yang bekerja untuk perusahaan besar (korporasi) atau istilahnya Salaryman.Tidak menutup kemungkinan keduanya juga terjadi dikalangan pekerja non perusahaan. Untuk ukuran kehidupan di Jepang, gaji salaryman hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sehari-hari. Bahkan tak sedikit yang harus hidup berpindah-pindah lantaran tidak sanggup menyewa tempat tinggal. Walaupun demikian, para pekerja ini tetap mempertahankan pekerjaannya dan bekerja keras hingga rela mati karena kelelahan. Karena tidak mudah mendapat pekerjaan di Jepang terutama bagi lulusan baru dan memiliki beban financial yang besar. Kasus Karoshi sudah muncul sejak awal tahun 70-an dimana pada tahun 1969 terjadi kasus kematian seorang karyawan berusia 29 tahun karena stroke. Pada Tahun 2002, di Jepang terjadi rekor kematian akibat kerja berlebihan. Sedikitnya 300 orang pekerja kantor dan pabrik di Jepang mati karena overdosis kerja. Untuk kasus Karo jisatsu,pada November 2012,seorang pegawai 24 tahun memutuskan untuk mengakhiri hidupnya lantaran tertekan oleh pekerjaannya. Dia bekerja rata-rata 190 jam dan hanya diizinkan mengambil 2 hari libur. Dia juga mengalami kekerasan secara fisik dan mental dari atasannya. Kasus Karo Jisatsu sering dianggap sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat. Mereka menganggap kasus bunuh diri seperti ini disebabkan oleh gangguan mental atau jiwa bukan karena tertekan oleh perusahaan. Setiap kali terjadi kasus Karo Jisatsu, pihak perusahaan akan mengklaim bahwa itu hanyalah sebuah kecelakaan di tempat kerja atau pelaku Karo Jisatsu sedang mengalami gangguan jiwa.
1.2 Masalah Penelitian
1. Faktor penyebab terjadinya Karoshi dan Karo Jisatsu di kalangan pekerja Jepang?
2. Bagaimana efek Karoshi dan Karo terhadap Masyarakat Jepang sekarang?
3. Bagaimana Upaya pemerintah dan perusahaan dalam mencegah peningkatan Karoshi dan Karo Jisatsu di kalangan pekerja Jepang ?
1.3 Tujuan Penelitian
-Untuk menjawab masalah penelitian
1. Mengetahui faktor penyebab terjadinya Karoshi dan Karo Jisatsu di kalangan pekerja Jepang
2. Mengetahui efek Karoshi dan Karo terhadap Masyarakat Jepang sekarang
3. Mengetahui upaya pemerintah dan perusahaan dalam mencegah peningkatan Karoshi dan Karo Jisatsu di kalangan pekerja Jepang
1.4 Manfaat penelitian
Memberikan gambaran serta ikut menyumbangkan pemikiran mengenai fenomena Koroshi dan Karo Jisatsu pekerja Jepang kepada masyarakat Indonesia, agar masyarakat dapat memahami fenomena tersebut dan mampu mencegah terjadinya Koroshi dan koro Jisastsu di kalangan masyarakat Indonesia.
1.5 Ruang Lingkup penelitian
Di tinjau dari permasalahan yang ada, maka perlunya batasan ruang lingkup pembahasan. Hal ini dimaksudkan agar masalah penelitian tidakmenjadi terlalu luas dan berkembang jauh. Penelitian ini hanya berfokus pada hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya Koroshi dan Koro Jisatsu, pandangan pemerintah dan perusahaan terhadap fenomena itu dan upaya yang mereka lakukan untuk mencegah hal tersebut.
1.6 Kerangka pikiran dan Tinjauan pustaka
1.6.1 Kerangka pikiran
Setiap penelitian memerlukan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. Untuk itu perlu disusun kerangka teori yang memuat pokok-pokok pikiran yang menggambarkan dari sudut mana penelitian akan disoroti (Nawawi, 2001 : 39-40). Sebuah penelitian memanfaatkan dasar teoretisnya dalam pengumpulan dan analisis data.
Penelitian ini pada secara umum menggunakan pendekatan sosiologi karena sosiologi merupakan teori yang membahas tentang masalah sosial yang terjadi di masyarakat Jepang, yaitu Koroshi dan Koro Jisutsu yang merupakan masalah sosial yang sering terjadi karena pola hidup bangsa Jepang yang pekerja keras. Menurut Allan Jhonson, Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempenagruhi sistem tersebut. Pendekatan ini akan digunakan untuk mengkaji penyebab pekerja Jepang mengalami Koroshi atau Koro Jisatsu, dan alternatif pemecahan masalah dari pemerintah maupun perusahaan tempat mereka bekerja.
Selain itu penelitian ini juga menggunakan pendekatan fenomenologis yang menekankan pada realitas budaya yang ada serta berusaha memahami budaya melalui pandangan pelaku budaya. Moleong (1994 : 9) mengatakanpeneliti dalam pendekatan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitanya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Pendekatan fenomenologis berfokus pada aspek subjektif dari perilaku orang. Pendekatan ini digunakan untuk mejelaskan fenomena atau gejala yang ditemukan dalam Koro Jisatsu yang dilakukan oleh para pekerja di Jepang. Analisis data dilakukan dengan menafsirkan fenomena budaya bunuh diri dari sudut pandang pelaku budaya tersebut. Fenomena yang terjadi pada objek penelitian ini memiliki aspek historis atau sejarah di dalamnya. Karena bunuh diri sendiri salah satu budaya yang telah ada sejak zaman feodalisme di Jepang. Pada zaman dahulu, tindakan bunuh diri merupakan salah satu ritual yang dilakukan oleh para kaum bushi atau ksatria samurai. Bushi akan melakukan ritual seppuku apabila mereka tertangkap oleh musuh karena berprinsip lebih baik mati daripada harus disiksa oleh musuh, dan jika bushi tersebut melakukan pengkhianatan atau gagal dalam tugasnya, sebagai wujud dari penyesalan dan tanggung jawabnya karena telah mengecewakan kelompoknya. Dalam perkembangannya, seppuku dilakukan oleh seseorang untuk menunjukkan rasa ketidak-setujuannya kepada keputusan penguasa (baik raja maupun pemerintah modern). Pada zaman perang dunia ke-II, tentara Jepang juga melakukan aksi bunuh diri sebagai upaya perlindungan negaranya. Namun tidak dengan cara seppuku melainkan melalui serangan Kamikaze atau serangan bunuh diri dengan cara menabrakan pesawat ke kapal perang sekutu. Di zaman sekarang pun, aksi bunuh diri masih sering dilakukan karena berbagai factor salah satunya tertekan oleh pekerjaan maupun masalah ekonomi. Jepang sendiri tercatat sebagai salah satu negara dengan angka kasus bunuh diri tertinggi di dunia.
Selanjutnya menggunakan Pendekatan psycho history, yang dikembangkan menjadi konsep psikologi sosial (sociopsychological) untuk menjelaskan perilaku sekelompok anggota masyarakat. Menurut Baron & Byrne pada tahun 2006, psikologi sosial adalah bidang ilmu yang mencari pemahaman tentang asal mula dan penyebab terjadinya pikiran serta perilaku individu dalam situasi-situasi sosial. Definisi ini menekankan pada pentingnya pemahaman terhadap asal mula dan penyebab terjadinya perilaku dan pikiran. Psikologi sosial mengakui aktifitas manusia yang rentangnya luas dan pengaruh budaya serta perilaku manusia dimasa lampau. Pendekatan ini digunakan untuk menjelaskan terbentuknya pola pikir bangsa Jepang modern akibat peristiwa masa lampau. Seperti semangat kerja keras yang tinggi setelah Jepang dihancurkan oleh bom atom Sekutu serta menjelaskan nilai-nilai etika samurai sebagai salah satu pemikiran yang mendasari pola pikir bangsa Jepang dewasa.
Pada penelitian ini juga menggunakan teori otonomi moral dari Immanuel Kant. Suseno dalam Nelvita (2007 : 9) menyatakan sikap moral yang sebenarnya adalah sikap otonom (dari kata Yunani, autos, sendiri). Otonomi moral berarti manusia menaati kewajibannya karena dia sendiri sadar. Jadi dalam memenuhi kewajibannya ia sebenarnya taat pada dirinya sendiri. Otonomi moral tidak berarti bahwa manusia menolak untuk menerima hukum yang dipasang orang lain, melainkan bahwa ketaatan kalau memang dituntut dilaksanakan karena manusia itu sendiri insaf. Inti penghayatan moralitas adalah bahwa manusia melakukan kewajiban bukan karena dibebankan dari luar, melainkan karena manusia itu sendiri menyadarinya sebagai sesuatu yang bernilai dan sebagai tanggung jawab. Teori ini menjelaskan tentang ketaatan pekerja Jepang dalam mengemban tanggung jawab pekerjaan sehingga pekerjaan seberatpun apapun tidak dianggap sebagai suatu beban.
1.6.2 Tinjauan Pustaka
a. Pengertian Karoshi
Karōshi (過労死), secara etimologi 過 労 (Karo, "kerja paksa") + 死 (shi, "kematian") atau secara harafiah diartikan sebagai “ mati karena kelebihan bekerja” merupakan sebuah fenomena di Jepang dimana para pekerja mengalami kematian mendadak akibat serangan jantung atau stroke . Penyebabnya antara lain stress, kurangnya istirahat atau kelelahan serta diet yang berlebihan. Biasanya terjadi dikalangan pekerja-pekerja kantoran . Orang Jepang yang tidur di sembarang tempat akibat kecapean kerja disebut “inemuri”. Inemuri sering disebut-sebut sebagai calon Karoshi. Namun demikian, anggapan masyarakat mengenai Inemuri ini masih positif. Mereka menganggap Inemuri merupakan orang-orang pekerja keras yang rela mengorbankan waktu istirahatnya demi bekerja di kantor.
b. Pengertian Karou Jisatsu
karō-jisatsu (過労自殺) atau secara harafiah diartikan sebagai “ bunuh diri karena kelebihan bekerja”, merupakan salah satu jenis bunuh diri di Jepang , yang dilakukan oleh pekerja di Jepang. Pemicu bunuh diri karo-jisatsu adalah depresi karena kelebihan bekerja , selain itu karena pekerja mengalami tekanan mental dari atasan perusahaan.
C. Kasus Karōshi (過労死)dan karō-jisatsu (過労自殺) di Jepang
Kasus Karōshi sudah dimulai sejak awal tahun 70-an, dimana pada tahun 1969 seorang karyawan berusia 29 tahun yang bekerja disebuah departemen transportasi di Jepang meninggal dunia karena stroke. data pemerintah, sedikitnya 150 pekerja meninggal setiap tahun adalah karena Karōshi. Selanjutya, kasus Karoshi menjadi wabah di era 1980-an selama gelembung Ekonomi. Bermula dari meninggalnya sejumlah eksekutif bisnis yang tewas mendadak tanpa tanda-tanda sebelumnya. Pada tahun 2005, 328 karyawan Jepang meninggal karena terlalu banyak bekerja, 7 kali lebih banyak dari pada tahun 2000 . Pada tahun 2007, dari 2207 kasus bunuh diri, 672 kasus memiliki penyebab utama yang sama.
Selama penurunan ekonomi jangka panjang setelah runtuhnya gelembung ekonomi pada tahun 1980-an dan 1990-an, banyak perusahaan di Jepang mengurangi jumlah karyawan. Namun jumlah pekerjaan tidak menurun yang memaksa setiap karyawan untuk bekerja lebih keras bahkan lebih dari satu pekerjaan dikerjakan oleh satu orang karyawan. Sejumlah perusahaan Jepang juga cenderung menuntut penjualan berlebihan kepada karyawan dan terus meminta mereka mencapai hasil yang lebih baik. Ini berpengaruh pada psikologis para pekerja. Sehingga membuat mereka mau tidak mau bekerja dengan jam kerja yang tinggi dengan waktu istirahat yang kurang dan membuat kondisi kesehatan mereka memburuk. Banyak pekerja tertekan oleh beban kerja lebih dari 70 jam lembur per bulan. Hal ini dapat menyebabkan stres, kelelahan mental dan kelelahan fisik yang dapat menyebabkan kematian mendadak atau cacat. Beberapa yang mengalami depresi karena kerja berlebihan memutuskan diri untuk mengakhiri hidup. Karena hal itu, sejumlah perusahaan di Jepang langsung bereaksi cepat dengan menciptakan keseimbangan untuk kehidupan yang lebih baik buat para pekerja mereka. Bahkan di beberapa kantor, dibuat pengumuman yang menunjukkan pentingnya istirahat dan mendesak para pekerja untuk pulang .
Meski demikian, kasus Karoshi tidak hilang begitu saja. Pada tahun 2008, Karoshi kembali muncul di media massa terkait meninggalnya seorang insinyur yang rata-rata bekerja lembur lebih dari 80 jam setiap bulan.
karō-jisatsu (過労自殺)
Pemerintah Jepang melaporkan jumlah masyarakat Jepang yang bunuh diri per tahun di Jepang telah mencapai lebih dari 30.000 orang mulai tahun 1998 sampai 2011. Presentasi ini terutama berfokus pada kasus bunuh diri yang dilakukan oleh pekerja di Jepang,atau apa yang disebut "karo-jisatsu" . Karo-jisatsu adalah kata Jepang yang berarti orang yang bekerja membunuh dia / dirinya sendiri setelah terlalu banyak kerja atau mendapat tekanan dalam tempat kerja. Kata ini telah populer di negara kita sejak tahun 1990, sementara "karo-shi" yang berarti kematian karena terlalu banyak pekerjaan sudah dikenal sejak tahun 1970-an.
Namun, perusahaan Jepang yang tidak mau bertanggung jawab atas kematian pelaku Karo-Jisatsu akan mengklaim bahwa peristiwa itu hanyalah kecelakaan atau si pelaku mengalami gangguan jiwa. Seperti yang terjadi pada tahun 2012, dimana seorang pria 24 tahun di Jepang bunuh diri karena tertekan oleh kondisi di tempat kerjanya restoran Sun Challenge. Tekanan psikologis akibat kekerasan fisik dan mental yang dilakukan oleh atasannya membuat pria ini memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Orang tua dari pria tersebut menuntut pihak restoran karena menemukan fakta bunuh diri yang tidak lazim. Pengadilan di Jepang memvonis pemilik restoran tersebut untuk membayar denda 58 juta Yen (setara Rp 8 miliar). Uang itu diberikan sebagai kompensasi kepada keluarga salah satu pegawainya yang tewas bunuh diri akibat lembur hampir 200 jam sebulan.
Orang Jepang biasanya akan setia dan bertanggung jawab terhadap satu pekerjaan walaupun dalam kondisi sesulit apapun, seperti gaji yang tidak sesuai, jam kerja tinggi atau mendapat tekanan dari atasan. Berdasarkan data dari pemerintah Jepang, terdapat lebih dari 10 juta orang yang hidup dengan penghasilan kurang dari standard normalnya Jepang yaitu ¥1.600.000/tahun (atau sekitar 155 juta rupiah per tahun). Mengapa hal itu terjadi? Menurut survey di Tokyo, orang Jepang yang baru lulus kuliah cenderung mengalami tingkat stress yang lebih tinggi jika dibandingkan ketika mereka sedang menghadapi ujian terakhir di kampus. Hal ini dikarenakan sulitnya mendapat pekerjaan di Jepang. Selain itu, daya saing untuk memperebutkan pekerjaan semakin tinggi, membuat orang Jepang mengambil pekerjaan apapun yang bisa menghasilkan uang walaupun gajinya minim.
Konsep Kinerja
Menurut Steers dan Porter (1983),Kerja merupakan hal yang penting dalam kehidupan individu karena beberapa alasan. Pertama, adanya pertukaran atau timbal balik dalam kerja. Ini dapat berupa reward. Secara ekstrinsik, reward seperti uang. Secara intrinsik, reward seperti kepuasan dalam melayani. Kedua, keija biasanya memberikan beberapa fungsi sosial. Perusahaan sebagai tempat kerja, memberikan kesempatan untuk bertemu orang-orang baru dan mengembangkan persahabatan. Ketiga, pekeijaan seseorang seringkali menjadi status dalam masyarakat luas, namun kerja juga dapat menjadi sumber perbedaan sosial maupun integrasi sosial. Keempat, adanya nilai keija bagi individu yang secara psikologis dapat menjadi sumber identitas, harga diri dan aktualisasi diri.
Jepang memang terkenal dengan etos kerja yang luar biasa. Etos kerja ini menimbulkan suatu dampak kemajuan teknologi dan penguasaan teknologi, serta mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara Jepang itu sendiri. setelah bom atom Amerika menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945, Jepang mengalami kehancuran besar-besaran pada saat itu. Namun, dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, Jepang ternyata mampu bangkit dan bahkan menyaingi perekonomian negara yang menyerangnya. Terbukti, pendapatan tahunan negara Jepang bersaing ketat di belakang Amerika Serikat.
Semangat kerja keras yang luar biasa tersebut berakar pada ajaran bushido yang diwariskan oleh kaum samurai. Nilai-nilai bushido tersebut yaitu :
• Chu sebagai tugas dan kesetiaan
• Gi sebagai adil dan bermoral
• Makoto sebagai tulus dan ikhlas
• Rei sebagai sopan santun
• Gin sebagai kasih
• Yu sebagai keberanian yang heroic
• Meiyo sebagai kehormatan
Nilai-nilai tersebut merupakan way of life kaum samurai pada zaman dahulu. Dan nilai itu masih tetap dipegang oleh bangsa Jepang sampai sekarang. Salah satu yang sangat menonjol adalah kesetiaan bekerja di suatu perusahaan (lifetime employment) dan jiwa nasionalisme. Nilai-nilai itulah yang membentuk budaya unggul bangsa Jepang.
Selain Bushido, ada juga prinsip zainen yang diterapkan oleh perusahan-perusahaan Jepang. ‘kaizen’ adalah pengembangan atau berubah menjadi lebih baik. Dalam penerapannyua, para pimpinan dan manajer harus menetapkan dan menjalankan suatu standar, serta mengontrol kualitas dalam perusahaan. Mereka juga harus mau mendengarkan ide/saran, berusaha memberikan feed back yang membangun, sekaligus terus memotivasi karyawannya.
Konsep Bunuh diri ( dalam kasus Karo Jisatsu )
Dalam bukunya “SUICIDE” Emile mengemukakan dengan jelas bahwa yang menjadi penyebab bunuh diri adalah pengaruh dari integrasi sosial.
Dalam bukunya , Emile Durkheim mengemukakan empat teori mengenai tipe bunuh diri.Salah satunya adalah bunuh diri Alstruistic dan Fatalisme. Alstruistic merupakan jenis bunuh diri karena terlalu kuatnya integrasi .Pengorbanan diri merupakan hal yang dijunjung tinggi, dimana individu yang bersatu telah kehilangan pandangan individual dan bersedia mengorbankan diri demi kepentingan sesama. Fatalisme adalah bunuh diri yang dilakukan karena rasa putus asa. Tidak ada lagi semangat untuk melanjutkan hidup, misalnya karena perbudakan. Kedua tipe bunuh diri ini relevan dengan kasus-kasus bunuh diri “ pengorbanan “ yang di lakukan oleh pelaku Kamikaze pada zaman perang untuk melindungi negaranya dan pelaku Karo Jisatsu yang rela bekerja berpuluh-puluh jam demi perusahaan. Bunuh diri Alstruistic disebabkan terlalu kuatnya keterikatan seseorang pada sesuatu hal. Sehingga orang tersebut sanggup dan bersedia melakukan apa saja bahkan sampai-sampai mengorbankan dirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar